Mainan Jenius

Siang itu, saya dan teman-teman saya sedang berkumpul di SC (Student Center) kampus. Di tengah obrolan tak berkualitas kami dan guyonan-guyonan lokal, seorang teman saya, Adel, memberikan cerita.

"He rek, aku lho dilokno ambek koncoku arek Biologi!" (Eh, aku lho dikatain sama temenku anak Biologi).
"Dilokno opo?" (Dikatain apa?)
"De'e lak takok, aku njupuk piro sks. Trus tak jawab, dua puluh empat. De'e njawab, wih, IP-mu apik la'an! Yo tak jawab, yo lumayan lah! Eh, marongono de'e njawab, Oh iyo seh, mata kuliahmu lak mata kuliah dulinan .."
(Dia kan tanya, aku ambil berapa sks. Trus aku jawab, dua puluh empat. Dia jawab, wih, IP-mu bagus dong! Ya aku jawab, ya lumayan lah! Eh, abis gitu dia jawab, Oh, iya sih, mata kuliahmu kan mata kuliah mainan ..)

Itu percakapan singkat kami, titik-titik yang saya tulis dibelakangnya menjelaskan bahwa ada celaan-celaan dan umpatan ala Surabaya yang harus saya sensor. Tidak sopan, katanya.
Saya berkuliah di sebuah jurusan dengan passing grade yang tidak sepadan dengan ilmu seperti kedokteran, biologi atau fisika. Saya juga berkuliah dimana kami tidak berkutat dengan rumus-rumus yang njelimet seperti aljabar dan teman-temannya. Kenapa? Karena buat saya, sastra itu hiburan, mainan yang jenius.
Pertanyaannya, apakah hal-hal yang tidak mempunyai rumus adalah suatu mainan? Apakah semua hal yang tidak berhubungan dengan ilmu pasti adalah ketidakpastian? Bukannya semua hal yang ada di bumi adalah relatif?
Rasanya tidak adil, bahwa segala sesuatu diukur dari jurusan yang diambil, dimana kita bersekolah. Bukannya ilmu untuk dibagi bukan untuk mengkotak-kotakkan manusia? Bukannya kita mencari ilmu bukan nilai? Lalu, kenapa harus diukur bahwa sastra adalah mainan dan biologi adalah jurusan kejeniusan?

Comments