Namanya Khadafi


Kadang kala, saya ingin sekali hidup seperti manusia satu ini.
Tidak punya ambisi, tidak pernah terlalu rumit berpikir.
Tidak pernah statis, sukar diprediksi.
Dafi adalah seorang yang bebas, pikirannya tiba dan hilang. Datang dan lenyap, sesuka ria.
Kemarin, kami duduk di bangku yang sama. Dalam siluetnya yang saya pandang dengan mata mengabur karena baru bangun tidur, Dafi berbincang dengan salah satu teman saya tentang bagaiamana ia akan pulang sedangkan uang di dompetnya hanya bersisa dua ribu rupiah. Ia hanya berbekal dua puluh ribu rupiah saja ketika bertolak dari Surabaya menuju tempat kami mengadakan acara keakraban jurusan bagi mahasiswa anyar.
Dalam garnisun yang kami tumpangi, ia masih tertawa sembari sesekali berdiri menghadap ke pintu garnisun yang terbuka. Merasakan angin yang jarang sekali muncul.
Dafi menunjukkan saya suatu hal yang mungkin tidak pernah ia sadar. Hidup itu milik kita. Sukar dan suka hanya pilihan yang kita buat dan Dafi memilih yang kedua. Ia tidak pernah lupa dan jarang sekali terluka karena ia memilikinya.
Dafi bilang, hidup itu seperti bir. Pahit tapi menyenangkan. Tapi, kamu menyukainya 'kan?

Comments