Senin Itu. 17 November 2011.

Rutinitas saya hari ini dimulai dengan sewajarnya. Bangun kesiangan karena hari Senin, lari-lari siapin segala macam karena kuliah hari ini adalah kelas pagi. Sebuah kelas teori yang membosankan, bagi saya.
Hari ini saya terlalu random. Diwarnai diskusi sok tau dan basi di pinggir kantin, siang panas yang terik kemudia sesekali saya dan teman-teman berteriak kencang karena ada seorang teman datang membawa semangkuk es kacang hijau yang menyegarkan, es buah atau sekedar cemilan ringan dari lantai dua gedung fakultas.

Sore harinya saya pulang. Mengantarkan sahabat saya, Rizal seperti biasa kemudian memutar setir ke arah kantor ibu saya. Kami berdua melanjutkan ke sebuah warung sederhana untuk memuaskan rasa lapar sebentar kemudian barulah pulang, ke rumah tentunya. Di tengah perjalanan, ketika sedang rapat-rapatnya kendaraan dan begitu padatnya jalanan tentu disana macet tak terhindarkan. Maka saya mencoba sebisa saya memasang manuver dengan cara masuk-masuk ke celah diantara puluhan mobil yang memadati jalanan kecil tersebut. Lampu merah di jalan ini terbilang lama dan lampu hijaunya terlalu cepat maka lengkap sudah syarat-syarat untuk menjadi jalanan yang macet, tak bergerak. Ketika semua kendaraan sedang padat, merayap semeter dua meter ada sebuah mobil kijang innova yang dikendarai seorang lelaki dan tiada henti menyerang saya dan pengendara lain dengan lengkingan suara klakson yang membabi buta. Saya cuma diam. Terus melanjutkan perjalanan semeter dua meter karena saya lelah, ingin pulang dan mandi karena badan lengket akibat keringat kepanasan. Untuk kedua kalinya saya dan pengendara lain diserang dengan lengkingan klakson, kali ini naik frekuensinya. Jadi jutaan mungkin. Saya akhirnya berhenti, di jalur lurus menuju jalan selanjutnya. Saya membuka slayer, melihat ke arah mobil tersebut dan memandang lekat-lekat siapa pengemudinya. Saya tahu pengemudinya pasti ga enak ati diliatin sama cewek manis kaya saya dengan tatapan memohok kaya gitu, sampai dia cuma berani ngelirik ke saya aja. Saya sempet nggumam, "Mau minggir kemana lagi. Jalan macet kaya gini." Saya tahan buat nggak lompat ke mobil itu dan mecahin kaca.
 
Kemudian di jalanan yang (lagi-lagi) macet. Padahal nggak biasanya macet gitu apa karena nggak minum kiranti gitu saya juga nggak tahu. Beruntung karena naik motor, saya lagi-lagi pasang manuver.
Di jalanan ini jarang sekali sebenarnya untuk terkena macet, kena macet karena tiba-tiba belakangan ada 2 orang polisi senam irama di tengah jalan. Nah, yang ini beda cerita.
Ini sudah macet. Suara satu sopran, also, bass, tenor yang asalnya dari klakson-klakson kendaraan yang berceceran benar-benar membahana. Persis orkestra kok, serius. Saya nyeletuk, "Ini mana sih polisinya?".
Pertanyaan saya dijawab dengan suara sirene, saya menoleh ke kiri. Sebuah mobil polisi. Dua orang polisi di dalamnya lagi homoan sedang bersiap hendak pulang ke rahmatullah.

Saya nggak pernah ngurusin masalah ginian, karena belakangan mikirin tugas aja sudah lumayan bikin cepet tua apalagi masalah kemacetan. Tapi di hari itu, saya benar-benar marah dan jengkel.
Tentang egoisnya berkendara, ya saya akui saya juga kadang masih egois tapi nggak pernah sampai nglaksonin orang yang yassallam, ribuan kali. 
Soal polisi, saya nggak pernah jadi polisi jadi no comment.
Cuma sekarang saya tahu kenapa polisi lalu lintas bayarannya nggak pernah tinggi, ya karena memang mereka nggak layak dibayar tinggi. Itu aja.

Comments