Questioning about Dedication

Saya berada di kamar saya, duduk di depan laptop sembari memutar mixtape dari Cassandra Niki. Ia memberikan judul pada mixtapenya: Dedication Mix

Dedication atau dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya dedikasi. Ada hal yang tiba-tiba saya ingat, komen-komen panjang di jejaring facebook tepatnya di grup angkatan saya. Suatu hari seorang teman saya, menulis di grup angkatan. Ia mengatakan beberapa orang di angkatan saya yang tergolong anak-anak pintar (definisi pintar yang ia maksud disini adalah mereka yang rajin mengerjakan tugas, mendapat nilai A, mengumpulkan tugas tepat waktu) adalah orang-orang yang apatis. Teman saya menuntut agar mereka memiliki kontribusi kepada masyarakat karena menurutnya, masyarakat tidak membutuhkan ijazah mereka tapi aksi mereka, kesadaran dan perbuatan mereka untuk membuat perubahan kepada masyarakat sebagai seorang mahasiswa. 

Saya tidak pernah mengatakan teman saya yang menulis di grup itu salah karena sudah menilai orang terhadap sesuatu yang belum selesai. Saya juga tidak menyalahkan teman-teman saya yang pintar, yang katanya tidak memiliki dedikasi untuk masyarakatnya. Melihat judul mixtape tadi, saya cuma berpikir tentang dedikasi. Bagaimana bentuk-bentuk dedikasi tiap orang berbeda-beda. Bagaimana dedikasi menurut teman saya tidak melulu harus belajar, tidak harus melulu berpikir tentang nilai, tidak harus melulu mengerjakan tugas dan mengumpulkan tugas tepat waktu. Menurutnya, dedikasi adalah aksi yang bisa dilakukan kapanpun tanpa ijazah. Lantas, kalau teman saya yang disebut pintar melakukan semua itu sebagai bentuk dedikasinya sebagai seorang anak kepada orang tua? Sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai orang yang mendapat beasiswa dan harus menyelesaikan pendidikannya tepat waktu? 

Bagaimana kalau menurut teman saya yang pintar, dedikasi adalah tidak banyak omong tapi semua tentang pembuktian-pembuktian. Bahwa belajar sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang mahasiswa, bahwa mendapat gelar sarjana adalah tujuannya, apakah teman saya salah? Tidak juga, menurutnya dedikasi adalah demikian. Menyelesaikan tanggung jawabnya agar dapat mendapat gelar kemudian mengabdi kepada masyarakat. Semuanya punya dedikasi. Semuanya punya tujuan.

Sudut pandang, tidak pernah mengandung benar salah. Sudut pandang, selalu seperti bisa ular. Mematikan lawan, tapi melindungi si ular. Pun dedikasi, pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan suatu usaha atau tujuan mulia; menurut masing-masing orang berbeda. Saya kadang berpikir, apa semua orang apatis? Jangan-jangan kita mengatakan orang apatis karena apa yang dia lakukan jalannya berbeda dengan yang kita tempuh. Porsi dan bentuk dedikasi saya dan teman saya mungkin berbeda, mungkin pula tidak sama. Saya tidak mungkin memaksakan orang menggunakan celana berukuran S padahal ukurannya L, itu porsi. Ukuran pasti. Lantas? “Each man lives for himself, uses his freedom to achieve his personal goals, and feels with his whole being that right now he can or cannot do such-and-such an action; but as soon as he does it, this action, committed at a certain moment in time, becomes irreversible, and makes itself the property of history, in which is has not a free but a predestined significance. ” That’s what Tolstoy said. Maka apa itu dedikasi? 

Dedikasi adalah berani menyelesaikan apa yang sudah kita mulai, menurut saya. You can make other people clever but you can’t solve your problem, that’s not dedication. Saya tahu, membuat perubahan tidak memerlukan ijazah atau nilai A tapi how we can make something good for other people if we can’t make the good one for ourself? 

Comments