A Review: debu duka dsb.

"Manusia adalah sesuatu yang bangkit dalam laku, dan mengubah laku itu menjadi “perbuatan”. Manusia adalah makhluk yang ingin melampaui kesabaran."



Buku debu duka dsb. awalnya aku kira sebagai naskah drama yang mengambil kejadian tsunami Aceh sebagai benang merah (oke, ini perkiraan yang agak bodoh). Dugaanku patah ketika membaca bagian awal (yang tadinya saya kira sebuah narasi untuk mengawali drama) kemudian berlanjut karena ternyata tidak ada satupun dialog ataupun alur yang aku temukan dalam buku ini. Anehnya, karena ini bukan naskah drama yang seperti aku bayangkan malah aku jadi lebih penasaran. Lagipula setelah aku pikir-pikir apa serunya baca naskah teater yang dibukukan? Dan dirasa agak aneh sebenarnya membaca naskah teater yang dibukukan kecuali cerita tersebut sudah dipentaskan. 

Buku ini adalah sebuah narasi panjang yang ditulis oleh Goenawan Mohamad satu setengah tahun setelah musibah tsunami Aceh dan ditutup tepat ketika umur bencana itu genap enam tahun. Berangkat dari Aceh kemudian lompat ke Eropa, Goenawan Mohamad menuliskan cerita diawali dengan peristiwa tsunami Aceh dan disambung dengan kejadian tsunami yang menghantam kota Lisbon. Nah, apa yang Goenawan coba sampaikan?

Sesuai dengan judul yang ia berikan kepada bukunya—debu duka dsb.—Goenawan Mohamad sebenarnya mencoba menuliskan keadilan dan Tuhan. Maka tak salah bila Goenawan Mohamad memberikan sub judul kepada buku ini Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise, sebuah pertimbangan mengenai pesimisme keadilan-keadilan Tuhan. Goenawan Mohamad sadar bila ia menuliskan Tuhan dan keadilan, tentu akan menyinggung manusia dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Semua hal yang berhubungan dengan keyakinan, keraguan, kefanaan, hasrat, kemustahilan, dan hal lain yang berhubungan dengan manusia sebagai subyek. 

Buku ini tidak bisa dikatakan ringan, tapi tidak juga berat. Hal yang perlu dilakukan selama membacanya adalah: mengikuti alurnya. Apa saja yang dituliskan, baca saja. Bila ada yang hal yang tidak mengerti, ya cukup diulangi kembali. Dalam buku ini pula, seperti buku-buku lain yang Goenawan Mohamad tulis, referensinya luas. Mulai Pandawa hingga Caligula, puisi Amir Hamzah hingga lakon Eumenides, mulai Yesus hingga agama Buddha. Esai ini cerminan manusia, kompleks dan luas. Maka seharusnya bukan hal yang sulit untuk membacanya, sebab esai ini cetak biru kita sendiri. 

Yang perlu diingat adalah: esai ini bukan doktrin, bukan pengaruh. Esai ini adalah sebuah pendapat yang dituliskan Goenawan Mohamad atas fragmen-fragmen yang berhubungan dengan manusia, Tuhan, dan keadilan. Esai ini adalah buah pikir, pendapat yang bisa ditepis dan diterima begitu saja. Mungkin kebenaran yang tak terbantahkan atau bahkan yang ditolak mentah-mentah. Goenawan Mohamad pun bisa pula salah, tapi yang pasti esai dalam buku ini membantu kita berpikir dan mempertanyakan kembali tentang kita sebagai debu dan hal-hal yang ada di sekitar kita untuk memanusiakan kita. Seperti yang Goenawan Mohamad tuliskan sebagai awalan:

"Saya tulis ini sebuah renungan itu semua, menyusuri berbagai bacaan, yang saya sebut atau tak saya sebut, yang saya setujui dan saya ragukan, yang saya pinjam atau saya tolak. Bentuknya catatan-catatan yang bersambung, meskipun tak dimaksudkan untuk menyadu padu, karena tiap fragmen saya biarkan berkembang ke arah yang berbeda.
Dengan harapan: Anda akan sabar membacanya."

Maka biarkan kita menikmati setiap fragmennya dan bertemu kesimpulan di tiap akhirnya.

Sebab seandainya tak ada sintesis yang menyatukan apa yang tampak, yang didengar, yang dihidu, yang diraba—yang disebut “pengalaman”—bagaimana akan ada “pengetahuan”?   

Comments