Melarung Duka (bag. I)
Kami berjanji sore ini bertemu di sebuah kedai kopi di
pusat kota. Dengan langkah terburu, aku membawa tasku dan segera menyebrangi
jalanan. Jarak dari tempatku berada sekarang dengan kedai kopi itu bisa
kutempuh dengan menumpang kendaraan umum dan kutinggalkan kendaraanku di sini.
Mengingat parkir yang sulit dan diburu waktu, aku melesat ke halte di depan
jajaran pertokoan. Sepuluh menit, bis yang menuju ke sana tak pula tampak.
Urung, aku melesat ke arah taksi terdekat. Kusebut tujuan. Sambil berjalan, aku
menyandarkan kepala dan memejam mata. Aku tak suka terburu-buru.
●●●
Seusai mandi, aku mengecek ponsel. Sebuah pesan dikirim
lima menit yang lalu, menyampaikan ia sudah di jalan. Aku memakai jinsku,
mengambil sehelai kaus berawarna abu polos, jaket yang biasa kupakai, dan sepatu. Akan terlalu lama
bila membawa mobil, pikirku. Maka kuputuskan untuk mengendarai sepeda motor
menuju ke pusat kota. Tempatnya menunggu. Sudah lewat 15 menit dari jam semula
kami membuat janji. Tanpa menyisir rambut terlebih dahulu, aku menyalakan
motor. Ia jelas tak suka menunggu. Kesabaran adalah hal termahal yang tak
pernah ia siakan atau berikan ke sembarang orang. Aku membawa motorku melaju
cepat.
●●●
Aku sampai di tempat pukul 3 lewat lima belas. Dia pasti
terlambat, tebakku. Tepat waktu adalah hal termahal yang tak pernah ia siakan
atau berikan ke sembarang orang. Aku menuju ke sebuah ruang di samping pintu
masuk. Kedai belum terlalu ramai. Setelah memesan segelas minuman, aku mengirim
pesan bahwa aku sudah sampai di tempat tujuan. Tak lama, pesan balasannya pun
tiba. Sepuluh menit lagi ia sampai. Aku beranjak ke rak buku yang berada di dekat mejaku. Beberapa majalah luar dan
lokal dipajang di sana. Aku tertarik pada satu majalah luar dengan sampul
berwarna kuning muda dengan seorang perempuan berkulit hitam bergaya sebagai
modelnya. Kuputuskan untuk membacanya di mejaku sambil menunggu pesananku
datang.
●●●
Tak sampai 10 menit, kedai kopi yang didominasi warna
hijau dari kejauhan pun terlihat. Ia pasti sudah kesal karena aku terlambat.
Harus ada satu putar balik yang aku lewati sebelum sampai ke sana. Butuh waktu
sekitar 3 menit, tak lama aku sampai. Aku mengirimkan pesan ia berada di mana
dan ia menjawab singkat namun jelas. Aku bergegas menghampirinya. Ia sudah
duduk di sebuah meja kayu untuk dua orang, di dekat jendela. Secangkir minuman
sudah ia pesan. Hazelnut latte, minuman favoritnya. Aku mengambil tempat dan
memesan minuman. Matanya terus melihat ke arahku. Mungkin ia pikir aku tidak
memperhatikan, tapi tatapannya berbeda dengan yang dulu aku temui. Dunianya,
berbeda.
“Sudah dapat tempat tinggal di sana?”
“Sudah. Ada kakak kelasku yang baru menyelesaikan kuliah
di sana dan aku bisa menempati kamarnya.”
“Kamu nyaman di sana?”
“Iya. Tidak terlalu jauh dari pusat kota Melbourne dan
tidak terlalu ramai. Tempatnya tenang.”
Ia mengangkat cangkirnya, sembari meminum ia melihat ke
arah jendela. Sebelum bertemu hari ini, ia sudah menceritakan banyak hal.
Tawaran beasiswa untuk melanjutkan sekolah sampai padanya setelah 3 bulan kepergian
ayahnya. Penawar yang tepat untuk lara yang tidak pernah ia duga. Kini tidak ada beban dalam
hidupnya, namun duka selalu ada di dalam matanya. Luka karena kepergian yang
tidak terduga dan akhirnya ia menjalani kesepian. Jarang kulihat matanya
berbinar, dunianya adalah duka. Aku bahkan tak tahu apakah ke Melbourne berarti
ia ingin sekolah atau sekedar menyembunyikan diri dari duka yang membayanginya.
Aku tak pernah bertanya tentang itu.
“Aku akan berkeliling ke banyak tempat, Dri. Karena
ketika aku sudah keluar dari sini, rasanya semua begitu dekat.”
Dari dua jam obrolan kami, tentang kepindahannya, tempat
tinggal barunya, apa yang akan ia lakukan di sana, kalimat itu menutup
pertemuan kami. Aku hanya berpesan, “Baik-baiklah. Kalau ada sesuatu yang kau
perlukan atau ceritakan, kapanpun kau boleh menghubungiku.” Keinginannya
berkeliling ke banyak tempat, kuanggap sebagai usaha kerasnya menanggalkan
kedukaan yang mendalam.
●●●
Aku tak pernah bisa menceritakan apa
yang aku rasakan belakangan ini kepada Adri tapi aku rasa dia sudah tahu. Saat
kami bertemu untuk saling berpisah, aku tahu pandangannya berbeda dari
biasanya. Adri tahu, tawaran beasiswa ini adalah waktu yang tepat untuk aku
pergi dari sini. Sejak ayahku tidak ada, aku tak pernah tahu harus berjuang
untuk siapa. Kepergian ibuku dan kakakku karena Ayah yang selalu gila kerja
bagiku selalu tak masuk akal. Aku tak pernah bertanya kenapa aku yang
ditinggalkan, kenapa ibuku membawa kakakku, aku pun lebih memilih diam dan tak
pernah berusaha untuk mencari tahu di mana ibu dan kakakku. Untuk apa mencari?
Tanyaku pada Adri suatu hari saat ia bertanya apakah aku rindu ibuku. Ia punya
alasan untuk pergi, kenapa harus tinggal?
Sampai suatu hari Ayah bilang ia
menderita Alzheimer.
Comments
Post a Comment